Sebuah Tulisan Parenting Dari Pandangan Seorang Generasi Z.

 


Perhatian: Cerita ini berdasarkan kisah nyata, yang telah saya samarkan nama, tempat dan waktu kejadiannya, untuk menghormati privasi orang-orang di dalamnya.

Sebagai seseorang yang belum menikah, sebenarnya sangat riskan bagi saya untuk membahas topik yang saya pilih ini, yaitu parenting. Karena memang, saya belum memiliki pengetahuan dan pengalaman menjadi orang tua. Namun berbekal dari pengalaman parenting orang lain, dan pengalaman menjadi anak, saya memberanikan diri.

Baiklah, sudah cukup kita berbasa basi. Mari kita beralih ke inti.

KONSEP ANAK & PARENTING BAGI SAYA.

Bila menelaah arti parenting itu sendiri, tentu banyak macamnya. Tergantung dari pendapat ahli atau institusi mana.

Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, parenting adalah proses interaksi antara orang tua dan anak dalam mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual sejak anak dalam kandungan sampai dewasa.

Sedangkan menurut Oxford Dictionary, parenting/pengasuhan adalah: The activity of bringing up a child as a parent (proses membesarkan anak yang dilakukan oleh orang tua).

Dapat disimpulkan bahwa, pada intinya parenting adalah proses interaksi antara orang tua dan anak, dimana didalamnya terdapat proses penanaman nilai-nilai kehidupan, keagamaan, emosional, sosial, moral, finansial dan juga karakter melalui berbagai macam cara atau pola pengasuhan.

Mudah? Menurut saya; tidak sama sekali.

Apalagi setelah mendapat pengasuhan dari orang tua, hasil dari berbagai observasi di lapangan, dan fakta yang saya dapatkan dari menjadi tempat curhat teman-teman saya yang diantaranya banyak yang broken home. Maksud broken home di sini, tidak harus selalu orang tua mereka berpisah, namun ada juga yang memutuskan untuk tetap bertahan walau mengorbankan perasaan banyak pihak, terutama anak. Penyebabnya macam-macam. Tidak mungkin saya jelaskan di sini satu persatu.

Saya tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya rasa, harus meluruskan hal ini terlebih dahulu. Saya tidak menghakimi orang tua saya, ataupun orang tua teman saya. Karena bagaimana pun, mereka sudah sedemikian keras berusaha merawat, membesarkan, mendidik dan menyekolahkan kami, hingga bisa menjadi seperti sekarang.

Saya hanya bertekad dan berharap, agar bisa menjadi orang tua yang lebih baik, untuk anak saya kelak.

"Saya ingin 'menebus' semua kesalahan orang tua di luar sana dengan belajar parenting sebaik-baiknya, agar saya tidak mewariskan cara yang salah tersebut pada anak saya nanti."

(Maafkan kesombongan saya ini para bunda dan ayah :-( )

Oleh karena itu, di usia saya yang sebentar lagi menginjak 21 tahun, saya merasa tidak terburu-buru untuk menikah. Kalaupun saya memutuskan untuk menikah, itu didasari dengan pertimbangan dan persiapan yang sangat matang, dan menunda dulu memiliki anak.

Sebab, menikah dengan mempunyai anak, adalah dua hal yang berbeda. Menikah adalah bagaimana cara kita beradaptasi dengan pasangan dan keluarganya. Sedangkan mempunyai anak, adalah tentang bagaimana kita bertanggung jawab penuh atas hidupnya, setidaknya sampai dia dewasa dan bisa memutuskan apa yang terbaik baginya.

Belum lagi tanggung jawab reproduksi yang lebih banyak ada di pihak perempuan. Tentu saja. Misalnya, dari sebelum kehamilan, saat kehamilan, melahirkan, paska melahirkan, hingga menyusui. Sama sekali bukan pekerjaan ringan, dan main-main. Beruntungnya setelah mengetahui hal-hal tersebut, tidak lantas membuat saya takut mempunyai anak atau memutuskan untuk childfree. Perlu diingat, saya tidak mengatakan childfree itu buruk. Ini hanya masalah preferensi pribadi saja.

Saya malah tidak habis pikir dengan pernyataan seorang tokoh publik yang menginginkan 15 anak dari istrinya, hingga menyuruh istrinya untuk terus menerus tes kehamilan dan menjadikan pengalaman reproduksi mereka sebagai konten. Padahal, melahirkan banyak anak itu memiliki resiko yang sangat tinggi. Masih banyak anak-anak di luar sana yang terlantar, dan membutuhkan uluran tangan kita. Harusnya kepedulian pada anak dan rasa kemanusiaan, tidak terhalang oleh hubungan biologis atau tidaknya.

Saya rasa, kita semua harus membaca artikel dari ibupedia ini, agar tidak terkecoh dan belajar dari pengalaman mereka. Bagaimana seharusnya mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik. Kesiapan finansial memang penting, namun bukan menjadi hal yang utama. Karena menurut saya, yang harus kita siapkan pertama-tama adalah ilmu dan mental menjadi orang tua.

PENGALAMAN MENGHADAPI ANAK SPEECH DELAY & HIPERAKTIF.

Pengalaman adalah guru terbaik. Begitu peribahasa berkata, yang saya amini sepenuhnya. Apalagi, pengalaman orang lain yang bisa kita jadikan contoh, agar hal yang sama tidak terjadi pada kita.

Saya sempat berkenalan dengan seorang anak laki-laki berusia 6 tahun, yang diduga speech delay dan hiperaktif. Saat disekolah, dia kesulitan berkonsentrasi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya. Dia juga tidak bisa mengekspresikan emosinya dengan baik, sehingga memukul dan menendang adalah caranya untuk mengatakan apa yang dia mau atau rasakan.

Usut punya usut, ternyata perilakunya seperti itu karena didikan dari orang tuanya, terutama sang ibu. Ibunya seringkali melakukan kekerasan fisik, umpatan, dan teriakan, saat anaknya tidak mau menurut ataupun berbuat kesalahan. Hal tersebut tentunya membuat psikis anak tersebut terganggu. Menjadikan hubungan dengan orang tuanya kurang dekat, dan cenderung takut. Orang lainlah yang menjadi bulan-bulanan anak tersebut, sebagai pelampiasan emosi yang diberikan orang tuanya.

Jujur, saya merasa sangat sedih dan prihatin. Saya tahu anak itu sebenarnya baik dan pintar. Dia sangat senang belajar hal baru, dan bereksplorasi. Hanya saja, rasa keingintahuannya tidak tersalurkan dengan baik. Saya hanya bisa memeluk dan menenangkannya, saat dia datang mengadu perihal perbuatan ibunya sambil berurai air mata.

Saya yakin kejadian seperti ini, tidak hanya terjadi pada satu atau dua anak saja. Pasti banyak, hanya saja kita tidak mengetahuinya. Mereka ada disekitar kita. Anak-anak dengan mental yang hancur dan tumbuh kembang yang jauh tertinggal dari anak seusia, karena orang tua yang belum dewasa. Toxic parents, salah satu istilah pada zaman sekarang yang bisa menggambarkannya. Sebab salah satu ciri Toxic Parents seperti dilansir dari Alodokter, adalah suka menghakimi dan melakukan kekerasan pada anak.

Sungguh, saya bercerita hal ini tidak bermaksud menjatuhkan atau menjelekkan pihak manapun. Saya berempati atas apa yang terjadi pada anak-anak seperti ini. Saya tidak bisa membayangkan masa depannya seperti apa, bila orang tuanya tidak mengubah cara didikan mereka. Saya khawatir mereka tidak merasa bersalah dan merasa semuanya tidak ada masalah.

Bisa dibayangkan, anak usia 6 tahun yang belum lulus toilet training, hanya mampu berbicara dengan kosakata terbatas, emosional, sulit bergaul dan sulit fokus, apakah semuanya baik-baik saja?

Padahal, menurut para ahli seperti Sigmund Freud, usia 0-5 tahun adalah masa emas (golden age period). Dimana pada masa ini perkembangan pada anak meliputi kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensi akan berjalan sangat cepat (soetjiningsih, 1995).

Masa ini juga disebut dengan masa kritis (critical period) atau "jendela keemasan" (window of opportunity). Kerjasama antara orang tua, keluarga dan lingkungan, mutlak diperlukan agar tumbuh kembang anak bisa optimal hingga ia dewasa. Baik itu pemenuhan gizi, simulasi motorik, aspek kognitif, juga interaksi sosial.

Sayangnya, saya bukan ahli parenting atau psikolog anak, sehingga tidak bisa membantu mengatasi permasalahan yang menimpa anak usia 6 tahun tersebut. Tapi setidaknya, dari pengalaman tersebut, saya bisa menyimpulkan 3 poin penting saat kita memutuskan akan menjadi orang tua. Apa saja? Ini dia.


1). Kesehatan Mental Sebagai Orang Tua.

Kesehatan mental sudah sepantasnya menjadi perhatian kita masing-masing sebagai individu. Apalagi saat kita menuju dewasa.
Banyak orang dewasa yang tidak menyadari, bahwa dalam dirinya ada sosok anak kecil, atau yang sering disebut sebagai inner child. Dilansir dari psychology today, inner child adalah akumulasi peristiwa-peristiwa baik maupun buruk yang dialami anak dan membentuk pribadi mereka hingga dewasa.

Peristiwa yang dialami saat kecil tersebut, memberikan dampak pada saat kita telah beranjak dewasa. Entah itu mempengaruhi kita dalam berbuat keputusan, pengendalian diri, bersikap atau bertingkah laku, bersosialisasi dengan orang lain, dan masih banyak lagi. Termasuk peristiwa buruk juga, sedikit banyak akan melukai anak kecil tersebut yang bisa berakibat serius jika tidak segera disembuhkan. Mungkin diantara kita ada yang pernah mengalami kekerasan fisik, pelecehan, sakit parah, ditelantarkan, dirundung, dan sederet hal lain yang bisa menyisakan trauma mendalam.

Menurut saya, sebelum kita menikah atau memutuskan menjadi orang tua, kita harus bisa menyembuhkan inner child yang terluka itu. Jauh sebelum itu, tentu akan lebih baik. Kenapa? Ya, karena bagaimana jadinya kita ingin mendidik anak kita, sedangkan dalam diri kita sendiri masih ada 'anak kecil' lain yang perlu dipedulikan/disembuhkan.

Cara menyembuhkannya adalah, yang pertama, kita harus menerima keberadaannya terlebih dahulu. Baru kemudian berdialog dengan anak kecil dalam diri kita tersebut, yang isinya bisa permintaan maaf, berdamai atau perjanjian untuk melupakan pengalaman pahit masa lampau itu serta bangkit kembali bersama-sama. Mungkin prosesnya tidak akan instan. Harus melewati fase marah atau menangis, dan peristiwa lain yang menguras emosi. Pelan-pelan saja, namun pasti.

Kembali ke kasus anak 6 tahun tadi. Setelah saya mengetahui dan dekat dengan ibu anak ini, ternyata ibunya memang memiliki pengalaman masa kecil yang kurang mengenakkan. Bermula dari KDRT orang tuanya, hingga ia menjadi anak yang terabaikan. Ironis memang. Saat masalah orang tua seperti ini, menjadi mata rantai yang bisa mengancam masa depan generasi kita.

Belum lagi, berbagai kondisi hormonal seorang perempuan yang mau tidak mau harus dialami oleh para ibu rumah tangga di luar sana. Karena dulu ibunya ini menunda dulu memiliki anak (dan memang baru bisa memiliki anak),  sehingga saat menjelang menopause, beliau masih harus mengurus dua anaknya yang masih kecil. Yang satu laki-laki berusia 6 tahun yang sudah kita ceritakan di awal, dan adiknya perempuan berusia 3 tahun. Sebenarnya, beliau sudah memiliki anak perempuan sebelum anaknya yang 6 tahun ini, namun Tuhan memanggilnya saat ia berusia 12 tahun. Hal itu jugalah yang membuat tekanan dan beban pikiran ibu ini semakin bertambah-tambah, yang mempengaruhi kondisi emosionalnya.

Mencoba berempati dan melihat kondisi yang dialami beliau, membuat saya menarik kembali prasangka negatif saya pada ibu anak 6 tahun ini. Memang tidak mudah merelakan segala hal kurang baik, yang menimpa kita sejak kecil. Setelah lebih mengetahui dan menyadari, sudah saatnya kita memaafkan diri kita dan memutus rantai pola pengasuhan yang salah ini. Agar kita tidak menjadi orang tua 'beracun' bagi anak-anak kita, di kemudian hari.


2).Pentingnya Belajar Ilmu Parenting.
Saya percaya, mempelajari ilmu parenting tak hanya berguna setelah kita menikah atau memiliki anak saja. Tapi juga berguna untuk kita aplikasikan pada lingkungan sekitar kita sehari-hari. Entah itu menjadi guru TK atau kelompok belajar anak, mengasuh keponakan, atau bahkan bisa kita maksimalkan saat menjadi relawan kemanusiaan bagi anak-anak kurang beruntung di luar sana.

Saya pribadi, berkenalan dengan ilmu parenting dan segala macam perniknya, saat menjadi blogger aktif dulu. Kebanyakan lingkar pertemanan sesama blogger saya itu, adalah para mom atau parenting blogger. Ada juga niche lain, namun bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Dari seringnya saya membaca postingan blog mereka yang sudah berpengalaman menjadi orang tua, saya semakin menyukai dan terpacu mempelajari lebih dalam ilmu parenting ini.

(Salam hormat saya pada mereka..)

Karena bagi saya yang memang tertarik pada dunia psikologi dan manusia, belajar untuk memahami dan berinteraksi dengan anak adalah suatu tantangan tersendiri. Bagimana pun, anak bagaikan kertas putih, yang bisa ditulis atau diisi sesuai harapan orang tua. Anak itu sejatinya 'bersih', bagaimana perilaku dan karakternya saat kecil atau bahkan dewasa, bergantung pada pola asuh orang tuanya.

Pada zaman digital seperti sekarang, dimana ada keberlimpahan berbagai informasi, tentu saja tidak sulit mencari ilmu tentang parenting ini. Berikut ini beberapa sumber informasi yang bisa dijadikan referensi.

1). Buku.
Buku menjadi sumber yang tak pernah lekang oleh zaman. Saya sudah mempunyai daftar buku rekomendasi, yang saya rangkum dari berbagai sumber.

- The Danish Way of Parenting - Jessica Joelle Alexander & Iben Dissing Sandahl.
- Parenthink - Mona Ratuliu.
- Happy Little Soul - Retno Hening.
- Teach Like Finland - Timothy D Walker.
- Ayah Edy Menjawab - Ayah Edy.
- Bringing Up Bebe : Pamela Druckerman.

2). Website/Internet.
Ada banyak situs web yang membahas niche parenting. Contohnya ibupedia. Tak hanya membahas tentang topik parenting saja, namun ada juga tentang konsepsi, kehamilan, kelahiran, balita, kesehatan, dan keluarga. Semuanya lengkap.

3). Orang Tua.
Ya benar. Pengalaman orang tua kita, bisa menjadi salah satu referensi kita dalam mendidik anak. Karena tentunya mereka sudah 'banyak makan asam garam kehidupan'. Walau memang, ada beberapa hal dalam pola asuh mereka, yang sudah tidak relevan dengan zaman sekarang. Jadi, kita harus pandai-pandai menyesuaikan dan memilah cara mana yang terbaik untuk anak kita.

Kita memang tidak harus selalu berpedoman pada sumber-sumber tadi. Adakalanya kita harus bertindak dan memutuskan sesuatu untuk anak kita, yang tidak atau belum ada panduannya pada buku, internet, atau orang tua kita. Tapi setidaknya, kita sudah memiliki dasar - dasar parenting yang sedikit banyak akan membantu kita. Jangan lelah untuk terus belajar, karena menjadi orang tua artinya proses pembelajaran seumur hidup.


3). Pola Asuh Yang Diterapkan & Kerjasama Pasangan.

Saya menemukan fakta, bahwa ada keterkaitan antara pola asuh orang tua, dengan hambatan perkembangan anak yang dalam hal ini kasusnya keterlambatan bicara. Fakta tersebut diperoleh dari sebuah jurnal pendidikan anak usia dini yang disusun oleh Nurhasanah dan Sugito dari Universitas Negeri Yogyakarta, yang bertajuk "Analisis Pola Asuh Orang Tua Terhadap Keterlambatan Bicara pada Anak Usia Dini".

Hal ini bisa saja terjadi, mengingat orang tua memegang peranan penting dalam perkembangan bahasa anak, karena orang tua yang sering berkomunikasi dengan anak. Seperti yang kita ketahui, umumnya ada 3 jenis pola asuh orang tua yang ditemukan oleh Baumrind. Diantaranya ada pola asuh demokratis, otoriter, dan permisif.
1). Demokratis; orang tua memberikan anak kebebasan dalam mengungkapkan pendapat, namun tetap dalam kontrol orang tua.
2). Otoriter; orang tua melakukan pengasuhan dengan cara membatasi, memberi hukuman, dan menuntut anak untuk selalu mengikuti perintah orang tua.
3). Permisif; orang tua tidak selalu ikut terlibat dalam kehidupan anak. Orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak dengan menerapkan sedikit batasan.

Dalam jurnal ini, ditemukan fakta bahwa orang tua dengan pola asuh permisif teridentifikasi lebih memiliki keterkaitan dengan anak yang terlambat bicara. Karena mereka mendidik di atas rasa kasihan yang berlebihan terhadap anak. Penyebab lainnya bisa terjadi karena kesibukan orang tua, rendahnya tingkat pendidikan orang tua, kurangnya stimulasi, dukungan positif dan interaksi serta keinginan orang tua agar anak mampu berbahasa asing (Nurhasanah, Sugito, 2020).

Dalam jurnal lain ditemukan bahwa pola asuh demokratis, merupakan pola asuh yang baik. Apalagi bila dibarengi dengan tingkat pendidikan orang tua -terutama ibu-, yang tinggi. Orang tua yang mempunyai pendidikan tinggi akan mudah untuk menerima sumber informasi, mudah mengubah perilaku, serta memberikan keputusan dalam memberikan pendidikan kepada anaknya (Dwi Anita Apriastuti, 2013).

Saya jadi teringat dengan tulisan Hanum Salsabiela Rais pada salah satu bukunya "Menapak Jejak Amien Rais", yang sangat saya sukai.

"Antara kekangan atau kemanjaan. Aku tidak meletakkan kedua orang tuaku dalam posisi ekstrem kanan atau kiri dalam metode mendidik anak mereka. Ibaratnya, kami anak-anaknya ini adalah pasir dalam genggaman tangan.

Semakin erat anda mengenggamnya, dengan segala kekuatan otot yang maksimal, butiran pasir justru akan keluar menyelinap, lepas dari sela jari-jari anda. Sebaliknya, jika anda membiarkan tangan anda terlalu membuka dan longgar, butiran pasir juga akan jatuh  tertiup angin. Bapak dan ibu kami, dalam hal ini mengenggam pasirnya dengan tangan yang mengatup sewajarnya. Sehingga butiran pasir tetap terjaga, tak tumpah jatuh ke mana-mana.

Itulah kami, pasir-pasir itu. Alhamdulillah hingga saat ini kami merasa tetap berada dalam genggaman tangan yang baik. Setiap orang tua dan keluarganya pasti mempunyai masalah yang berbeda-beda. Seberapa kuat mereka harus mengenggam butiran pasirnya, hanya orang tua itu sendiri yang tahu jawabannya."

Melakukan proses parenting atau pengasuhan, bukanlah hal yang mudah. Diperlukan kerjasama yang baik dengan pasangan, termasuk saat memutuskan pola asuh mana yang akan digunakan untuk mendidik anak mereka. Mendidik, bak pasir dalam genggaman, seperti yang Hanum katakan.

               *       *       * 

Kita telah sampai di ujung pembahasan. Ya, sayangnya pemaparan saya hanya bisa sampai disini saja. Jujur, saya menulis ini untuk diri sendiri, dengan tidak bermaksud menggurui atau merasa paling benar sendiri. Saya hanya ingin 'menumpahkan' isi dalam hati dan kepala saya, setelah dipendam beberapa waktu lamanya.

Harapan saya, lewat tulisan minim informasi ini, bisa membuat saya dan terutama teman-teman saya sadar dan merenung. Bahwa menjadi orang tua adalah tanggung jawab dunia akhirat; tidak bisa dianggap sepele, penuh tantangan, dan proses pembelajarannya seumur hidup (sekali lagi).

Bonus foto saya dengan anak laki-laki 6 tahun ini. Terima kasih telah menjadi sumber pelajaran berharga untuk kakak, dek. Semoga kau kelak menjadi anak yang sholeh dan membanggakan kedua orang tuamu. :-)


(Lagi main sendiri, ceritanya...)

(.)

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Ibupedia "Share Your Parenting Story".




Comments

Popular posts from this blog

Zenius: A Wonderful Learning Journey

My (Started) Gap Year With Zenius

Ketika Pertengkaran Terjadi,Pahami 2 Prinsip Ini Agar Tak 'Makan Hati'